Bandung, adajabar.com – Pemerintah Pusat telah merancang sebuah sistem pengelolaan wilayah perikanan sebagai kerangka kerja penting untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan tingkat panen dalam sektor perikanan.
Secara konseptual sistem ini dinilai cukup bagus, akan tetapi pada pelaksanaannya memerlukan alokasi anggaran, sumber daya manusia yang memadai, dan rencana pengelolaan yang bertujuan untuk menjaga stok ikan, termasuk penetapan batas panen yang didasarkan pada data ilmiah yang memadai.
Pemerintah Pusat telah menyusun rencana tata ruang laut yang mengidentifikasi wilayah laut yang cocok untuk aktivitas ekonomi dan wilayah yang harus dilindungi. Integrasi antara rencana tata ruang laut ini dengan sistem perizinan usaha sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan berjalan sesuai peraturan zonasi.
Diperlukan upaya kreatif dan inovatif untuk menggali potensi laut di Jawa Barat, bukan hanya sebatas hasil tangkapan laut. Tujuannya adalah agar pembangunan di sektor kelautan memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Anggota Komisi II DPRD Jawa Barat, Dadang Kurniawan, mengungkapkan bahwa perencanaan pembangunan sektor kelautan di Jawa Barat seharusnya mengutamakan ekonomi biru (blue economy) seperti yang sebelumnya diumumkan.
“Program ini diharapkan dapat menyelaraskan kepentingan sosial-ekonomi dan ekologi, sehingga penggunaan sumber daya kelautan tidak merusak lingkungan.” ungkap Dadang Kurniawan.
Indonesia dapat menerapkan prinsip pengelolaan perikanan yang berbasis hak, yang telah terbukti efektif dalam praktik-praktik terbaik di sektor perikanan dunia. Dalam sistem ini, pemerintah memberikan hak panen kepada masyarakat pesisir atau perusahaan dengan batasan tertentu berdasarkan tingkat panen.
“Dengan pengaturan seperti ini, nelayan memiliki peran penting dalam pengelolaan perikanan, mendorong praktik yang berkelanjutan, dan meningkatkan produktivitas.” ujar Dadang Kurniawan.
Perlu juga ditingkatkan upaya restorasi mangrove dan konservasi yang kuat. Upaya restorasi harus didukung oleh langkah-langkah untuk mengurangi, bahkan menghentikan kerusakan hutan mangrove alami.
Perluasan moratorium konversi hutan primer, termasuk mangrove, akan memberikan manfaat besar. Indonesia dapat mengembangkan sistem pembayaran berbasis hasil untuk karbon yang disimpan dalam hutan mangrove yang luas dan memastikan manfaat ini diterima oleh masyarakat pesisir sebagai insentif untuk pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.
Diperlukan peningkatan layanan dasar dan infrastruktur dasar dalam pengelolaan sampah, penyediaan air, dan pengelolaan limbah untuk mengatasi dampak lingkungan di wilayah pesisir. Ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir dan melindungi destinasi wisata dari kerusakan.
“Selain infrastruktur, ekonomi biru Indonesia juga harus beralih ke ekonomi sirkular untuk mengurangi limbah sejak awal. Peluang untuk menyelaraskan upaya pemulihan ekonomi jangka pendek dengan kebutuhan jangka panjang di sektor kelautan sangat penting.” tambah Dadang Kurniawan.
Sistem pengelolaan seperti rencana tata ruang wilayah dan rencana pengelolaan perikanan dapat diujikan dan diterapkan sekarang, ketika tekanan pada sumber daya sedang berkurang. Ini juga memberi pemerintah kesempatan untuk mengatasi tantangan yang ada.
Paket pemulihan ekonomi dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja dengan melibatkan aktivitas restorasi pesisir dan laut yang memerlukan banyak pekerja, seperti restorasi mangrove dan pembersihan pantai di daerah pariwisata, serta investasi dalam infrastruktur desa yang diperlukan.
Potensi ekonomi biru Indonesia bukanlah sekadar kata-kata, melainkan rangkaian tindakan konkret yang dapat dicapai dengan kapasitas dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Indonesia. Jawa Barat harus memanfaatkan potensi dan peluang ini. (adikarya/aj)