adajabar.com – Kementerian Kesehatan menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) campak yang terjadi di 12 provinsi di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Berasarkan sebarannya, campak di Jabar terjadi di wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung Barat.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Pemprov Jabar dr Ryan Bayusantika Rustandi merinci campak di Bogor tercatat mencapai 18 kasus. Sementara di KBB mencapai 27 kasus tanpa adanya kasus kematian akibat campak tersebut selama periode tahun 2022.
“Hingga minggu ke-37 sampai sekarang, kami masih terus melakukan pengawasan. Minggu ini tim provinsi akan turun ke lokasi untuk penanganan dan kewaspadaan lebih lanjut,” kata Ryan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (24/1/2023).
Ryan mengungkap, meningkatnya kasus campak di dua daerah tersebut kemungkinan diakibatkan cakupan imunisasi anak yang masih rendah. Bahkan menurutnya bisa saja kasus campak ini lebih tinggi dari data yang ada karena masih banyak warga yang belum melaporkan kasus campak tersebut.
“Wabah bisa muncul di daerah tersebut, kemungkinan disebabkan karena cakupan imunisasi masih rendah dan herd immunity yang belum terbentuk. Selain itu petugas surveilans juga cukup aktif untuk menemukan dan melaporkan kasus. Mungkin kasus juga ditemukan di daerah lain tapi ada kemungkinan tidak ditemukan dan dilaporkan sehingga kita tidak mengetahuinya,”ujarnya.
Agar kasus ini bisa ditekan, Ryan mengatakan perlu dilakukan imunisasi campak secara lengkap terhadap anak usia 9-59 bulan. Warga pun diimbau menerapkan kewaspadaan dini jika menemukan suspek campak (orang dengan gejala demam dan ruam makopopular) dengan cara memeriksa ke labolatorium.
“Daerah yang tidak ada kasus pun tetap harus meningkatkan cakupan imunisasi campak rubela. Oleh sebab itu penting sekali untuk melaporkan setiap ada gejala demam ruam ke petugas kesehatan, untuk dilakukan pengambilan sampel dan diperiksa ke laboratorium untuk memastikan apakah campak atau bukan dan melaporkannya ke dinkes kab/kota dan Provinsi Jawa Barat,” pungkasnya.
Meroketnya tingkat penularan campak disinyalir merupakan dampak dari pandemi COVID-19. Hal tersebut diungkapkan Kepala Staf Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Djatnika Setiabudi.
Dalam keterangan tertulisnya, Djatnika menyebut jika masa pandemi COVID-19 membuat cakupan imunisasi campak kepada anak-anak menjadi menurun yang pada akhirnya juga ikut membuat kekebalan imunitas ikut turun.
“Karena pandemi COVID-19 awal-awal, maka sekarang ‘panennya’,” kata Djatnika, Senin (24/1/2023).
Djatnika menuturkan, sebelum pandemi, penyebaran campak sudah dapat dikendalikan. Artinya, kasus penularan campak hanya bersifat sporadis, tidak berbentuk wabah atau KLB. Di sisi lain, meningkatnya penularan campak juga tidak lepas dari masih banyaknya kantong-kantong yang menolak vaksin.
“Harusnya KLB ini juga dilihat juga populasinya yang mana. Apakah di wilayah yang termasuk banyak imunisasinya ataukah yang tidak,” jelasnya.
Ia menuturkan campak merupakan salah satu penyakit yang sangat menular dimana jika seseorang tidak memiliki kekebalan yang baik, orang tersebut 90% sangat dimungkinkan terinfeksi campak. Karena sangat menular, kekebalan komunitas yang dibutuhkan juga tinggi.
Djatnika juga mengatakan, campak tidak hanya menyerang pada anak-anak, namun remaja hingga orang dewasa yang memang memiliki kekebalan tubuh rendah. Selain itu, dampak berat campak juga bakal dirasakan oleh mereka yang belum sama sekali diimunisasi.
“Rentan mengalami komplikasi penyakit lain seperti pneumonia, radang otak, hingga gizi buruk. Untuk itu pemberian vaksin campak sangat penting untuk meningkatkan kembali kekebalan komunitas,” ujar Djatnika.
Kemenkes sendiri telah menetapkan jadwal imunisasi vaksin campak lengkap, yaitu pada usia 9 bulan, 18 bulan, serta ketika anak menginjak kelas 1 SD.
Menurut Djatnika, seseorang yang tertular campak akan mengalami fase gejala awal, seperti demam tinggi, batuk pilek, hingga mata merah. Fase ini merupakan fase yang paling mudah menularkan.
Selain itu, penularan campak dilakukan tidak melalui sentuhan kulit, tetapi melalui percikan droplet di udara. Untuk itu, ia mendorong jika sudah menunjukkan gejala terkena campak, segeralah untuk berobat ke fasilitas kesehatan.
“Anak yang terkena campak sebaiknya diam di rumah, sehingga tidak menularkan ke orang lain. Jika anak yang sakit sudah bisa menggunakan masker, maka sebaiknya menggunakan masker,” jelasnya.
Dalam menghadapi status KLB ini, Djatnika meminta pemerintah untuk menggiatkan surveilans epidemiologinya. Pemerintah juga harus menemukan populasi penularan virus dengan tujuan untuk melindungi mereka yang sehat atau belum terkena.
“Ring immunization juga bisa dilakukan. Artinya daerah yang fokus penyakitnya dipagari dengan diberikan imunisasi massal di daerah sekelilingnya,” pungkasnya. (dbs)