Tasikmalaya, adajabar.com – Puluhan pengusaha bordir yang terhimpun dalam sebuah paguyuban mengadu ke DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Senin (26/12/2022). Di hadapan Komisi II, mereka melontarkan keluh kesah seputar monopoli benang hingga kesulitan mendapat laba usaha.
Ketua Paguyuban Bordir Kabupaten Tasikmalaya, Agus Husaeni mengemukakan bahwa monopoli benang dilakukan oleh salah satu pengusaha di Kota Tasikmalaya. Akibatnya, para pelaku UMKM bordir tidak bisa membeli benang langsung dari pabriknya di Bandung.
“Bahan baku ini tentu jadi sulit karena harganya yang mahal satu tahun terakhir ini, sehingga dampaknya, perusahaan-perusahaan bordir di Tasikmalaya mengalami kesulitan untuk mendapatkan keuntungan,” terang Agus.
Dirinya juga mengeluhkan, bahwa untuk mendapatkan bahan baku bordir, mereka hanya mengandalkan satu sumber yang diketahui berada di Kota Tasikmalaya.
“Penyedia bahan baku bordir ini tidak ada persaingan, sehingga kenaikan harga itu hanya dilakukan oleh satu pihak perusahaan yang di kota itu saja,” tambah Agus.
Karena belanja benang dari tangan kedua, para pengusaha bordir jadinya harus membayar harga lebih tinggi. Kalaupun hasil produksinya terjual, para pengusaha hampir tidak mendapatkan keuntungan. Karena selain harga bahan dasar tinggi, upah maklun bordir juga tidak naik.
“Karena monopoli itu jadi tidak ada persaingan, memainkan harga benang juga sesuka hati saja. Padahal, kalau bisa belanja langsung ke pabrik, itu mungkin bisa menolong usaha kami, karena harga tidak terlalu tinggi,” terang Agus selepas audiensi.
Dugaan terjadinya monopoli benang Agus rasakan sejak pascapandemi Covid-19. Pihaknya jadi kesulitan mendapatkan benang dan kalaupun bisa, harganya lebih mahal dari sebelumnya. Sementara para pengusaha bordir butuh banyak benang dengan berbagai warna (bisa sampai ratusan jenis), terutama untuk kebaya.
Karena usaha yang semakin sulit itu pula hari ini hampir 50 persen perusahaan bordir sudah tutup. Mereka kemudian menjual mesin-mesinnya ke luar daerah seperti Bukittinggi dan Telukagung. Karyawannya pun ikut bubar, yang di antaranya ikut pindah kerja ke luar daerah seperti mesinnya.
“Sekarang kan ada pembelian mesin-mesin seken itu dari Tasikmalaya ke luar wilayah. Karena mesinnya sudah dijual ke wilayah lain, yang kerja di Tasikmalaya itu juga kemudian migran ke luar wilayah,” lanjut Agus.
Sementara terkait respon Komisi II DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Agus mengaku bersyukur. Karena ternyata pihaknya mendapatkan tanggapan positif dari DPRD dan dinas terkait. Ia berharap langkah tersebut menjadi awal kebangkitan kembali pengusaha bordir yang berbasis ekonomi kerakyatan.
Sekalipun demikian, kata Agus, penanganan persoalan yang membelit para pengusaha bordir harus secepat mungkin. Jika tidak, maka bukan mustahil semua pengusaha mengalami gulung tikar sampai musnah. Perusahaan bordir di Kabupaten Tasikmalaya pun akan menjadi kenangan, tinggal sejarah.
“Langkah selanjutnya kami akan bikin koperasi untuk mewadahi apa yang bisa kami lakukan, salah satunya melalui anggaran atau gimana. Sehingga kami bisa mengadakan mesin dan pabrik benang yang dikelola oleh kami sendiri,” pungkas Agus. (dbs)