Hukrim  

Pelaku TPPO Anak di Bawah Umur di Sukabumi Ditangkap Polisi

Para pelaku TPPO yang melibatkan anak di bawah umur. (ist)

Sukabumi, adajabar.com – Jajaran Polres Sukabumi, Jawa Barat, mengungkap kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan korban anak di bawah umur.

Diketahui, dua orang berangkat bekerja ke Yordania melalui jalur ilegal menggunakan visa ziarah ke Yordania. Dari enam pelaku, salah satunya inisial RA pegawai honorer Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Sukabumi adalah kunci mulusnya keberangkatan dua korban tersebut.

“Ini kasus yang sering terjadi, ada manipulasi data karena usianya dipalsukan, masih anak-anak di tuakan. Itu adalah salah satu praktik, sehingga bisa lolos untuk menjadi pekerja migran,” kata Jejen Nurjaha, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Sukabumi, Rabu (14/6/2023).

Korban diketahui masih berusia 16 dan 15 tahun. Salah satu korban yang berhasil pulang, dikatakan Jejen, kondisinya sempat mengalami trauma. Karena di usianya yang masih di bawah umur ia bertemu dengan lingkungan dan orang-orang yang asing.

“Kemarin kita melakukan visit bersama gugus tugas, hasilnya sudah ada. Nanti kita pelajari lagi, karena memang kasus ini waktu kita datang ke rumahnya atau ke korban ada trauma, karena anak diberangkatkan ke luar negeri dengan baru pertama kali (bertemu) dengan orang asing, orang tidak dikenal di sana itu nah itu yang menjadi masalah,” ujar Jejen.

Selain korban yang sudah dipulangkan, saat ini masih ada satu korban lainnya berusia 15 tahun yang sudah terlanjur terikat kontrak. Jejen menegaskan tidak ada kekerasan dalam kasus yang melibatkan anak tersebut.

“Untuk komunikasi masih lancar, masih chatting-an dengan pihak kecamatan. Dia memang sudah kontrak kerjanya dua tahun 11 bulan lagi. Dia memang ingin pulang, gajinya lancar hanya memang tidak sesuai dengan yang dijanjikan,” kata Jejen.

Dari rangkaian kasus tersebut, Jejen menjelaskan selain keberangkatan unprosedural, keterlibatan pemalsuan dokumen juga melancarkan kasus tersebut. Jejen meminta semua pihak untuk menyadari dan waspada dengan praktik semacam itu.

“Kita sebagai gugus tugas, ini perlu kerjasama dengan pemerintah desa, kecamatan dan masyarakat sekitar. Kalau ada orang yang mengajak keluarganya untuk menjadi pekerja migran, apalagi ini yang ke Timur Tengah perlu diketahui 19 negara ini masih moratorium belum di buka. Rata-rata yang kemudian menjadi korban itu diberangkatkan menggunakan visa ziarah, umroh dan turis,” jelas Jejen.

“Dengan keberangkatan seperti itu tidak ada perlindungan hukum dan ketika tiba di negara tujuan atau di negara penempatan mereka itu tidak ada perlindungan hukum sehingga untuk proses penanganan kasus itu sangat sulit,” sambung Jejen.

Kerumitan itu salah satunya soal ganti rugi yang harus dibayarkan pekerja migran. “Sangat rumit sekali karena ada ganti rugi lah, ini visanya visa ziarah, kalau pulang itu harus bayar sendiri sehingga kita kalau tidak ada sponsor atau PT yang tidak bertanggung jawab ini ke siapa harus meminta ganti rugi,” pungkas Jejen. (dbs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *