Bandung, adajabar.com – Sejak tahun 2006 setiap tanggal 15 Februari akan diperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional.
Peringatan tersebut lahir sebagai hasil refleksi atas peristiwa penyiksaan dan kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) berusia 14 tahun bernama Sunarsih.
Selama ia bekerja dengan pemberi kerja di Surabaya, Sunarsih tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja, di antaranya gaji yang tidak diberikan, jam kerja lebih dari 18 jam/hari, diberikan makanan tidak layak, dikurung di dalam rumah, tidak diizinkan bersosialisasi dan berkomunikasi dengan siapapun, tidur di lantai jemuran, hingga disiksa setiap harinya.
Seluruh kekerasan yang dialaminya tersebut mengakibatkan ia meninggal dunia pada tanggal 12 Februari 2001.
Tidak hanya Sumarsih yang menjadi korban, hingga kini kekerasan dan pelanggaran hak PRT sebagai pekerja masih terus terjadi.
Namun hingga saat ini payung hukum sebagai bentuk perlindungan PRT masih belum disahkan yang mengakibatkan semakin banyak korban.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2005-2022 ada 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan.
Bentuk-bentuk kekerasan yang diterima pun beragam, seperti kekerasan fisik, gaji yang tidak dibayar, bahkan kekerasan seksual.
Seperti yang diketahui, pihak DPR RI sejak tahun 2004 mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai inisiatif legislatif.
Namun 19 tahun berlalu, pembahasan RUU PPRT terkesan sangat lamban walaupun sering masuk Prolegnas DPR.
Menyikapi hal tersebut, berbagai upaya dan advokasi dan kampanye terus dilakukan oleh masyarakat sipil khususnya lembaga pendamping PRT dan Komnas Perempuan yang didukung oleh perempuan pekerja rumah tangga, pemberi kerja, lingkungan kampus, kelompok muda, jurnalis dan tokoh-tokoh agama serta masyarakat luas.
Tidak hanya itu, berbagai kelompok masyarakat juga dengan kompak menyerukan #SahkanRUUPPRT di media sosial.
Tidak hanya Sumarsih yang menjadi korban, hingga kini kekerasan dan pelanggaran hak PRT sebagai pekerja masih terus terjadi.
Namun hingga saat ini payung hukum sebagai bentuk perlindungan PRT masih belum disahkan yang mengakibatkan semakin banyak korban.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2005-2022 ada 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan.
Bentuk-bentuk kekerasan yang diterima pun beragam, seperti kekerasan fisik, gaji yang tidak dibayar, bahkan kekerasan seksual.
Seperti yang diketahui, pihak DPR RI sejak tahun 2004 mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai inisiatif legislatif.
Namun 19 tahun berlalu, pembahasan RUU PPRT terkesan sangat lamban walaupun sering masuk Prolegnas DPR.
Menyikapi hal tersebut, berbagai upaya dan advokasi dan kampanye terus dilakukan oleh masyarakat sipil khususnya lembaga pendamping PRT dan Komnas Perempuan yang didukung oleh perempuan pekerja rumah tangga, pemberi kerja, lingkungan kampus, kelompok muda, jurnalis dan tokoh-tokoh agama serta masyarakat luas.
Tidak hanya itu, berbagai kelompok masyarakat juga dengan kompak menyerukan #SahkanRUUPPRT di media sosial.
Sementara pada peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional, teman-teman PRT juga akan melakukan aksi secara langsung di depan gedung DPR RI.
Aksi di media sosial dan aksi secara langsung merupakan bentuk keprihatinan dan solidaritas terhadap PRT korban kekerasan dan perbudakan, serta mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PPRT. (dbs)